Liburan kali ini saya bersama Bapak/Ibu guru Gugus 4 Ranting PGRI
Gemuh melakukan kegiatan jeda semester ke Yogyakarta. Lokasi yang kami kunjungi
salah satunya adalah lereng Gunung Merapi. Kurang lebih pukul 12 siang kami sampai
di lokasi Kali Urang. Dari Kali Urang kami menyewa mobil Jeep (harga Rp
350.000/ 4 orang) untuk melanjutkan
perjalanan melihat sisa-sisa kenangan hasil letusan Gunung Merapi beberapa
tahun yang lalu (2204, 2006 dan 2010).
Perjalanan dimulai dari Kali Urang
kemudian melewati beberapa desa yang terimbas langsung letusan Gunung Merapi.
Diceritakan oleh sopir sekaligus pemandu kami (Pak Boymin) salah satu desa yang
kami lewati adalah Desa Tangkisan. Desa ini sewaktu gunung Merapi meletus tidak
terkena awan panas seolah-olah menangkis awan panas itu dan hanya membakar
batas desa saja. Tidak ada kesengajaan, memang nama desa ini Tangkisan dan
kebetulan saat kejadian letusan Gunung Merapi saat itu seolah menangkis awan panas seperti perisai.
Lain halnya dengan desa sebelahnya. Desa Petung langsung terkena awan panas dan menghanguskan pepohonan dan
rumah warga. Di Desa Petung kami berhenti di salah satu bukti rumah yang
terkena awan panas gunung Merapi. Terlihat dari bangunannya yang gosong serta
beberapa dinding sudah rubuh. Bekas rumah ini sudah ditata sedemikian rupa guna
kepentingan wisata sehingga mampu menceritakan kejadian yang memilukan waktu itu. Di
dalam rumah juga dipajang berbagai benda-benda yang tidak berbentuk seperti semula karena sudah
terkena awan panas. Di dinding rumah juga sudah diberi keterangan foto-foto
bagaimana ganasnya ketika sang Merapi memuntahkan isi perutnya.
Kejadian letusan yang menghancurkan
rumah ini terjadi tengah malam. Hal tersebut dibuktikan oleh beberapa jam
dinding yang sudah penyok dan meleleh menunjukkan jarum pendek di angka 12 dan
jarum panjang sekitar angka 3. Banyak foto yang dipasang di rumah ini juga menunjukkan
keanehan-keanehan. Ada foto-foto “penampakan” wajah dan bentuk-bentuk lain pada
awan panas gunung Merapi serta kondisi desa sebelum dan sesudah Mbah Marijan
meninggal.
Berbicara keanehan dan misteri,
perjalanan dilanjutkan ke Batu Alien, begitu daerah itu disebutkan. Pak Boymin
menceritakan kalau batu yang kami kunjungi adalah batu yang berasalah dari
Gunung Merapi dan ikut terbawa arus lahar yang melewati Sungai Gendol kemudian
terangkat ke tepi sungai. Julukan batu alien selain karena batunya yang sangat
besar dan dapat terangakat ke tepi sungai, juga karena batu ini menunjukkan
beberapa rupa wajah jika dilihat dari beberapa sudut yang berbeda. Dari wajah manusia,
gorila, gajah dan singa. Letak batu ini tepat di tebing samping Sungai Gendol.
Sungai Gendol sendiri adalah salah satu sungai yang menjadi jalur lahar dan
awan panas ketika gunung Merapi meletus. Terlihat, sekarang banyak truk-truk
pencari pasir yang menambang di sungai ini.
Setelah puas menikmati pemandangan
dari atas Sungai Gendol, kami melanjutkan perjalanan kembali. Sebelumnya kami diberi
pilihan untuk memilih tujuan, akan ke Bunker
Kali Adem atau ke rumah Alm. Mbah Marijan. Kalau memilih keduanya maka
akan dikenai biaya tambahan (± Rp 100.000). Rombongan di Jeep kami memutuskan untuk melihat
keduanya. Mumpung sudah sampai di sini.
Akhirnya kami menuju ke Bunker Kali Adem terlebih dahulu. Di bunker ini
ada peristiwa yang sangat memilukan. Bunker yang sejatinya sebagai tempat
berlindung dari material letusan Gunung Merapi malah memakan korban. Memang
tidak ada yang bisa menahan KuasaNya. Puas melihat ke dalam bunker yang gelap
gulita, bergegas kami ke rumah Alm. Mbah Marijan karena kabut sudah mulai turun
dan mendung sudah menggelantung di atas kami.
Belum sempat kami sampai ke rumah
Mbah Marijan langit sudah menjatuhkan air matanya. Dengan gesit dan sigap Pak
Boymin memasang penutup di Jeep yang kami tumpangi. Walau hujan turun cukup
deras namun masih banyak pengunjung di rumah Alm. Mbah Marijan. Di area
kediaman dipajang berbagai benda yang terkena awan panas. Salah satu yang
paling mencolok adalah bangkai sebuah mobil. Terpampang pamflet besar yang
menceritakan kronologis mobil tersebut terkena awan panas.
Diceritakan bahwa mobil ini adalah
milik dari wartawan namun ketika terjadi erupsi mobil ini menyakinkan warga
Desa Kinahrejo untuk mau diungsikan. Akhirnya setelah diberi penjelasan oleh
wartawan tersebut beberapa warga ikut turun bersama mobil. Karena kapasitas
mobil yang tidak memungkinkan untuk menampung semua warga, maka mobil ini mesti
kembali keatas lagi untuk menjemput warga. Namun belum sempat menjemput warga,
awan panas telah menjemputnya terlebih dahulu bersama beberapa warga dan
termasuk juru kunci Merapi, Alm. Mbah Marijan.
Selain saksi berupa benda. Kami
beruntung juga dapat menemui saksi hidup yang juga merupakan istri dari Alm.
Mbah Marijan. Sebentar berbincang dan berfoto kemudian kami melanjutkan
perjalan untuk kembali ke Kali Urang. Sebelum ke Kali Urang ternyata kami
mampir terlebih dahulu ke sebuah sungai untuk merasakan sensasi offroad. Berkali-kali kami dilewatkan medan yang terjal
dan berbatu dan tentunya berair.
Bersama Istri Alm. Mbah Marijan |
Itulah sedikit cerita sebuah perjalanan yang sarat dengan perenungan dan bukti kebesaranNya. Beberapa kali bulu kuduk merinding ketika melihat foto-foto kejadian letusan Gunung Merapi, bukti-bukti hasil terjangan awan panas serta lokasi-lokasi yang memakan korban.