Social Icons

Kamis, 08 Desember 2016

JUST FOR MY MOM (Karena Do’a Ibu)

Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah, akhirnya saya mendapat tambahan nama di belakang nama akta kelahiran. Gelar S.Pd. secara resmi telah menambah tenaga ekstra untuk menulis identitas tahun-tahun mendatang. Tambahan nama ini saya persembahkan untuk Ibunda tersayang yang merupakan asisten sutradara dari Allah yang “menjerumuskan” saya masuk ke dunia pendidikan ini :) .

            Cerita ini harus saya mundurkan 5 tahun ke belakang untuk memulainya tepatnya ketika saya duduk di kelas 12 SMA. Disela kesibukan kami mempersiapkan ujian nasional. Kami juga telah disibukkan untuk mulai memilih dan memilah guna menentukan perguruan tinggi mana yang akan kita masuki atau lebih tepatnya kita usahakan untuk dimasuki. Saat itu nilai raport saya menempatkan kesempatan untuk mendapat undangan memilih universitas yang akan dimasuki. Tahun itu masih bernama SNMPTN Undangan, yang mana kami  hanya berbekal nilai raport dari Kelas 10 sebagai perhitungan untuk masuk di sebuah perguruan tinggi tanpa mengikuti tes.
            Pengisian formulir berlagsung sedikit menguras tenaga dan pikiran. Salah satu guru BK saya sudah memberikan peringatan bahwa ketika memilih prodi harus sesuai dengan jurusan SMA nya (Padahal saat saya sudah masuk universitas, banyak yang masuk tidak sesuai jurusannya). Sepulang sekolah saya mencari tahu lewat internet dan mendapati bahwa ternyata prodi di universitas memiliki kategori bidangnya masing-masing. Mulai dari prodi IPA, IPS, Bahasa. Nah, sayangnya prodi PGSD merupakan prodi yang berjurusan IPS. Sesampainya di rumah lekas saya mendiskusikan dengan ibu mengenai hal ini. Ibu pun akhirnya melepaskan keinginannya agar saya memilih PGSD di formulir SNMPTN Undangan kali ini. Akhirnya saya memilih Kehutanan UGM dan Pendidikan Kimia di UNNES kalau tidak salah. Singkat cerita, entah memang saat itu Ibu diam-diam masih menginginkan saya memilih PGSD atau yang lainnya. Tetapi, saya percaya skenario Allah SWT untuk tidak meloloskan saya di SNMPTN Undangan adalah salah satunya dari do’a Ibu atau harapan Ibu. Bagaimana mau lolos, ketika saya mau mengirimkan persyaratan online ke sistem saja selalu bermasalah. Setiap istirahat anak-anak yang mendapat formulir Undangan akan ke perpustakaan dengan dibantu petugas perpus melengkapi persyaratan untuk Undangan. Ketika giliran saya, selalu saja bermasalah. Di layar sudah terkirim, namun ketika selanjutnya saya cek selalu belum masuk ke sistem mereka. Ini yang namanya takdir :). 
            Hasil dari SNMPTN Undangan sudah bisa ditebak, bahwa saya tidak lolos. Banyak yang menyayangkan. Namun tidak apa-apa, karena ada skenario lain untuk saya. Selanjutnya sayamembulatkan tekad harus berjuang di ujian tertulis SNMPTN. Untuk tes tertulis saya langsung banting setir dari jurusan SMA. Karena saya tahu keinginan Ibu hanya ingin anaknya masuk PGSD maka saya memutuskan untuk membeli formulir IPS yang saya isi dengan prodi PGSD dari 2 Universitas ternama di Jawa Tengah. Otomatis saya harus belajar mengenai Sosiologi, Ekonomi, Geografi lagi dari awal yang sudah 2 tahun ini tidak saya sentuh, dan meninggalkan atau sejenak melupakan Kimia, Fisika, Biologi :v. Alhamdulillah do’a Ibu sangat manjur. Persiapan 1 bulan penuh mengahdapi SNMPTN tulis berbuah manis. Saya dinyatakan lolos di PGSD UNNES.
anis saidah rahman
Kartu Ujian SNMPTN Tulis

Kalau tidak ada kejadian saya tidak lolos SNMPTN undangan mungkin saya akan tetap kekeh menuruti ego saya untuk melanglang buana ke hutan atau menjelajah Indonesia dengan profesi saya nanti. Walaupun sempat terjadi perdebatan panjang akhirnya saya luluh menurut pada Ibu. Beliau malam itu mengeluarkan wejangannya. Jarang sekali Ibu mengucapkan kata-kata yang sensitif berbau nasehat.
Karena prinsip beliau adalah “Silahkan lakukan semau yang ingin kamu lakukan, tapi bertanggungjawablah, jangan mengeluh dan terima resiko yang ada”. Malam itu Ibu mengeluarkan pendapatnya mengenai masa depan kehidupan saya. Padahal selama ini saya melakukan semuanya sekehendak saya. Segala pencapaian dari ranking 1, juara lomba atau pencapaian yang lainnya adalah murni keinginan saya, tidak pernah orang tua mengharapkan anaknya harus rangking 1 atau ikut berbagai kegiatan. Sedikit pembicaraan yang berbobot malam itu adalah membahas masa depan saya. Yang mana masa depan saya dimulai dari pemilihan jurusan kuliah saya.
“ Jenenge wong wedok, kerjo iku sampingan. Diniati mung mbantu keluargamu, mbantu bojomu sokmben. Ojo nganti kuwalik. Tugas utamane yo ngurus keluarga.
Nek awakmu dadi guru, kerjone mung setengah dina. Balek sekolah bisa ngurus anakmu lan keluargamu.
Dadi guru yo iso dadi amal jariah sok mben nang akhirat. Itung-itung ngamalke ilmu.”
Artinya
“ Sebagai seorang wanita, bekerja itu sampingan. Hanya untuk membantu perekonomian keluarga dan suami. Jangan sampai terbalik. Sedangkan tugas utamanya adalah mengurusi keluarga.
Ketika kamu menjadi guru, kamu bekerja hanya setengah hari. Pulang sekolah bisa dimanfaatkan untuk mengurusi anak dan keluarga.
Menjadi guru juga bisa sebagai ladang amal jariyah di akhirat. Niatkanlah untuk mengamalkan ilmu”
            Tidak saya pungkiri orientasi kuliah waktu itu adalah kerja. Perkataan itu saya renungkan ketika di dalam kelas. Selalu saya perhatikan guru-guru yang di depan. Saya pikirkan lagi dan lagi bagaimana baiknya.  Akhirnya saya luluh dengan pertimbangan mungkin jalan saya akan dipermudah jika menuruti kemauan Ibu. Saya selalu menurut pada Ibu akhir-akhir ini. Semenjak peristiwa yang paling membahayakan yang saya alami. Peristiwa itu terjadi ketika awal kelas 3 SMA. Saya ketika itu mengikuti les di kota Kendal. Saya bersama seorang teman selalu berboncengan naik motor ketika les. Pulang dari les pasti mendekati maghrib. Hari itu giliran memakai motor saya. Dari tempat les hampir maghrib namun kami paksakan pulang karena acara.
Di perjalanan selepas adzan maghrib saya masih bisa SMS adik teman saya untuk menjemput kakaknya. Namun, setelah itu saya tersadar sudah dalam posisi tertidur dan mendapat bantuan orang. Sepertinya kami jatuh. Lekas saya mencari tas saya yang berisi laptop milik kakak. Terdengar sayup suara “Kae, nang ngisor tronton!”. “Itu, di bawah mobil tronton!”. Tas berisi laptop sudah berada jauh di bawah mobil tronton yang berhenti di tepi jalan. Bergegas saya ambil, alhamdulillah masih utuh hanya sebagian tas yang sobek. Terlihat teman saya sudah dibantu warga ke salah satu rumah, sebelum menyusulnya, sempat saya menanyakan keberadaan motor saya dan meminta tolong warga menepikan ke depan rumah yang akan saya tuju (yang ada dipikiran saya waktu itu adalah antisipasi Polisi). HP teman saya hilang, sedangkan HP saya sudah tidak berdaya. Ternyata rumah itu adalah bibi teman saya. Langsung saya meminjam HP untuk mengabari Ibu, sedangkan penghuni rumah itu sibuk melihat kondisi teman saya yang ternyata bagian tangannya terluka. Setelah dicek sebentar oleh pamannya dia kemudian dinaikkan becak menuju RS Soewondo Kendal. Mengantarnya ke depan, saya masih linglung melihat keadaan jalanan malam itu dan bingung arah serta lokasinya. Setelah teman saya pergi, saya beristirahat di ruang tamu sambil mencoba menghubungi Ibu di rumah. Dosa saya saat itu adalah meminta Ibu jangan sampai Bapak tahu tentang hal ini. Tibalah Ibu bersama kedua kakak saya, sesampainya di rumah saya bersikap biasa saja, walau di bagian pinggang sedikit nyeri. Langsung menuju ke kamar ketika Bapak bertanya “kok ndadak di jemput”, hanya Ibu yang menjawab, “Kebanan”. Ibu menyusul ke kamar dan melihat kondisi dengan lirih mengucapkan “Ora sia-sia saben bar sholat Ibumu iki terus ndongake anak-anake ben slamet” ( Tidak sia-sia Ibumu ini selalu selepas sholat mendo’akan anak-anaknya agara diberi keselamatan). Satu kalimat yang membuat hati saya terenyuh. Jarang sekali saya menangis. Bahkan untuk persitiwa yang sesedih-sedihnya. Tapi ketika itu saya meneteskan air mata. Bukan karena rasa sakit namun keharuan dari rahasia yang diungkap Ibu.
Saksi Bisu
Esoknya, ternyata teman saya sudah dirujuk ke RS Tugu Semarang. Pacarnya yang memberi tahu saya dengan cukup kaget juga melihat kondisi saya kok bisa berangkat sekolah padahal pacarnya saja mengalami patah tulang. Namun saya terlihat baik-baik saja. Saya masih memakai motor dan seragam yang sama. Motor hanya sedikit tergores membulat kecil di bagian “slebor”. Sedangkan seragam saya hanya sobek kecil seperti jatuh biasa dibagian rok. Persitiwa itulah yang menyadarkan saya dengan sangat sadar bahwa do’a orang tua terutama Ibu dikabulkan Allah. Dan sampai detik ini Bapak saya tidak tahu-menahu mengenai kejadian itu. Bekas jatuh di motor hanya ditempeli stiker kecil. Beliau kira saya hanya jatuh kecil di sekolah. Tidak tahunya itu telah memakan korban tulang yang patah di bagian lengan atas. (Setelah artikel ini rilis, jangan beritahu Bapak yaaaaaa :D )

Kita tinggalkan sejenak cerita tersebut. Kembali ke cerita tentang proses kuliah. Alhamdulillah saya diterima di UNNES prode PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Ini pasti do’a Ibu. Terbukti, banyak teman yang berjuang bersama mengikuti tes yang saat itu dilaksanakan di UNDIP selama 2 hari banyak yang tidak lolos. Ketika malam telah pengumuman saya sebenarnya keesokan harinya sudah terjadwal untuk mengikuti tes masuk di IKIP PGRI (sekarang Universitas PGRI Semarang). Karena sudah terjadwal, saya ikuti saja tesnya bersama teman-teman yang masih sama saat berjuang di SNMPTN Tulis.
 Selama perkuliahan sebenarnya masih ada pertentangan dalam hati saya mengenai jurusan PGSD. Ketika SMA saya tidak ingin jadi guru karena apakah iya seluruh hidup saya dihabiskan di sekolah. mulai dari TK, TPQ, SD, MDA, SMP, SMA, Kuliah dan nantinya kerja di sekolahan. Tapi lambat laun perasaan itu menghilang dengan sendirinya. Saya mulai menikmati berada di dunia pendidikan. Sebenarnya cita-cita sewaktu kecil kalau ditanya memang ingin jadi guru. Tapi guru yang bukan di sekolah. Guru yang bisa keliling ke daerah-daerah menyatu bersama alam J .
Dunia pendidikan yang saya lihat selama ini tidak sesimpel pemikiran saya. Apalagi guru SD. Ternyata banyak sekali yang harus dikerjakan dan dipertimbangkan dalam berinteraksi dengan peserta didik. Guna membentuk manusia yang lebih baik lagi. Dengan gaji guru yang ala kadarnya. Tapi dengan beban hidup yang alangkah besarnya. Mereka rela membagi waktu memenuhi tugas dan memenuhi kebutuhan. Saya bisa mengatakannya karena Ibu adalah guru SD. Perjuangan beliau hijrah dari Yogyakarta tanah kelahirannya ke Jawa tengah meninggalkan keluarga tercinta adalah demi menjadi seorang guru. Niat saya pun sudah bulat. Profesi guru adalah lahan beramal, untuk amal jariyah yang tidak akan mati walau jasad kita sudah terbujur di peti. Semoga selalu istiqomah dan teringat di hati.  
Perjuangan untuk menjadi guru ternyata mengalami masalahnya di penghujung perkuliahan. Tugas akhir skripsi menjadi momok tersendiri. Selalu saya meminta do’a Ibu untuk melancarkan jalan mencapai gelar Sarjana Pendidikan ini. Di tengah perjuangan itu, Ibu memberikan tawaran sulit. Saya diminta mengisi sebuah kelas yang gurunya tidak jelas keberadaannya. Saya coba sehari, namun pikiran saya masih tertuju pada skripsi. Akhirnya saya melepaskannya, itu sekitar Januari 2016, yang mana kesibukan saya hanya menyelesaikan skripsi. Sudah tidak ada kuliah lagi di kelas. Namun, alkhamdulillah ada tawaran lain dari tempat les yang dulu saya ikuti, tidak berpikir panjang saya terima karena sesuai waktunya dan bisa sebagai investasi lahan pekerjaan sampai nanti saat sudah lulus.
Penyelesaian skripsi ternyata tidak semudah rencana yang telah kita susun. Ada saja halangan dan rintangannya. Saya bisa mengaktegorikan 3 faktor yang memiliki kuasanya di bagian ini. Pertama, tentunya Tuhan YME, jika diulurkan lagi lebih jauh Tuhan memiliki kaki tangan yaitu orang tua, karena ridho orang tua adalah ridho Tuhan. Kedua, birokrat yang di dalamnya terdapat Dosen, Kampus dan Subjek penelitian. Ketiga, adalah mahasiswa. Sesulit apapun cobaan yang dihadapi   jika mahasiswanya tetap memupuk semangat dan selalu berdo’a kepada Tuhan, serta meminta do’a kepada orangtua dan tidak lupa mendo’akan guru, dosen untuk selalu diberi kesehatan dilapangkan hatinya, maka tinggal keputusan Tuhan yang memiliki kuasa ketok palunya.
Salah satu pemacu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini adalah sekali lagi Ibu. Selalu beliau bertanya, “bagaimana skripsinya?” dan pertanyaan itu baru bisa terjawab masih proposal sekitar bulan Februari s.d April. Hingga sekali lagi entah mulai dari mana percakapan ini hingga menjurus ke perasaan bersalah. “Kalau bisa, lulus 8 semester. Biar Ibu bisa istirahat. Uangnya bisa buat yang lainnya.”. Maklum, semenjak Ibu memutuskan untuk memasukkan saya ke perkuliahan ini Bapak sudah tidak bisa membiayai. Bapak inginnya saya mondok. Jadi mau tidak mau Ibu yang membiayai semuanya. Bapak hanya bisa memfasilitasi sepeda motor yang sudah diberikan semenjak SMA. Rasa bersalah kembali lagi muncul ketika Ibu mengungkapkan keinginannya untuk saya bisa memanfaatkan kesempatan yang dahulu pernah ditawarkan yaitu mengajar di sekolah tempat Ibu bekerja. Kebetulan akan ada kelas kosong, karena ada satu guru yang bermasalah dan akan pindah. Otomatis saya memasang target Juli 2016 ketika tahun ajaran baru 2016/2017 dimulai saya sudah lulus. Namun, kembali kenyataan berkata lain. Sampai tahun ajaran baru saya hanya mampu sampai menyelesaikan Bab V. Belum sampai dinyatakan lulus. Dengan sedikit berdiskusi dengan Ibu saya akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri menerima tawaran masuk ke sekolah Ibu. Karena Kepala sekolah sudah memberikan sinyal kalau saya tidak masuk ajaran baru, maka akan mencari guru lain. Dengan konsekuensi yang sudah saya siapkan untuk terima yaitu skripsi yang pasti akan semakin terhambat. Karena domisili sudah di Kendal saya terima tawaran itu dan menjadi guru “selundupan” J
Kembali, keajaiban Tuhan berbicara. Selang seminggu setelah saya menjadi guru gadungan dan harus laju Kendal-Semarang, saya mendapat jadwal sidang skripsi. Dijadwalkan tanggal 26 Juli 2016. Seminggu dari keluarnya jadwal. Saya meminta cuti seminggu untuk mempersiapkannya. Karena dosen penguji utama adalah beliau yang sudah terkenal kedisiplinan, ketelitian dan kewibawaannya yaitu Dr. Eko Purwanti. Sempat panas dingin selama persiapan sampai hari H. Alhamdulillah beliau yang ditakutkan tidak semenakutkan seperti biasanya. Sidang juga berjalan lancar walau sambil menahan batuk, menggigil di ruangan ber AC.  Masih harus berjuang kembali. Saya kembali ke Kendal dan bolak-balik ke Semarang setiap harinya setelah pulang sekolah dan pulang Kendal malamnya lagi untuk menyelesaikan revisi skripsi. Baru sebulan kemudian saya sudah bisa bernafas lega karena dinyatakan lulus tepat sehari sebelum perayaan Indonesia merdeka yaitu tanggal 16 Agustus 2016, inilah kemerdekaan sesungguhnya bagi saya di tahun ini. Akhirnya saya sedikit bisa mengurangi intensitas perjalan jauh Kendal Semarang ketika sudah dinyatakan lulus. Walaupun akhirnya pengorbanan yang sesungguhnya akhirnya saya dapatkan. Ketika kenyataan yang cukup pahit harus didapatkan. Ketika hanya selang 3 jam sebelum saya mendaftar wisuda ternyata kuota wisuda terdekat sudah ditutup. Mencoba mengihklaskan saya harus menunggu 4 bulan lagi untuk mendapatkan ijazah yang sudah ditagih terus menerus oleh Kepala Sekolah.

anis saidah rahman, wisuda
Toga untuk Ibu
Mendekati wisuda sudah tidak begitu antusias lagi. Karena dunia saya sudah di sini. Sekolah dasar tempat mengabdi. Saya menantikan wisuda hanya untuk segera mendapatkan ijazah sebagai persyaratan pendataan dapodik. Wisuda kali ini pun saya memakai seperti apa yang Ibu inginkan. Dari pakaian sampai sepatu. Yah karena saya merasa ini adalah wisudanya Ibu. 4 tahun lalu kami  masih berdebat tentang saat ini. Dan ujung jalan ini, gelar sarjana pendidikan tersemat di belakang nama anak ragil perempuan satu-satunya adalah keinginan Ibunda tercinta. Semoga sedikit membuat senyum tersemat. Dan sedikit mengurangi beban beliau. Semoga bisa menjaga amanah ini untuk menjadi pendidik yang baik dan sesuai dengan niatan awal, ketika pertama kali memutuskan untuk mengambil jalan ini. 

anis saidah rahman


8 komentar:

  1. Tak woco alon2 seko awal nganti akhir karo mbayangne perjuanganmu nis...
    Salut dan selamat mengabdi di jalan syurga....amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimaksih Pak,,, hehehe..
      cuma bahasa tulisan mungkin :)

      Hapus
  2. Ceritanya hampir mirip sama aku mba anis, bisa masuk k PGSD karena doa bapak ibuk ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha,,, kayaknya sebagian besar cah PGSD ngono mb Lia :D

      Hapus
  3. Selamat atas gelar yg di peroleh Nis semoga amanah dan dapet berguna buat orang lain

    BalasHapus
  4. intinya apa dek ..???? hahahaha

    BalasHapus

 
Blogger Templates